Perda No.8 Tahun 2011 sangat bertentangan dengan budaya Flores Timur


Perda No.8 Tahun 2011 sangat bertentangan dengan budaya Flores Timur

ON VS OFF - Kota Larantuka ibu Kota Kabupaten Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur (NTT), Pada hari Senin tanggal 6 Januari 2014 lalu, terjadi aksi besar-besaran oleh ribuan rakyat. Aksi tersebut dibawah koordinasi para aktivis yang mengatakan diri peduli masyarakat kecil, peduli pada keadilan dan kebenaran. Para aktivis melakukan advokasi dalam organisasi Forum Peduli Nilai Arak Dalam Budaya Lamaholot (FPNA-Daulat) dari dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Lewolema dan Titihena.

Aksi ini bermula dari advokasi sejumlah organisasi rakyat yakni, Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Tani Flotim (STF), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Advokasi berawal dari vonis pihak pengadilan negeri di Kabupaten Flores Timur, terhadap 4 janda. Pasalnya, 4 janda tersebut menjual arak (minuman tradisional) setempat. Ke-4 janda divonis 2 bulan penjara atau denda 20 juta rupiah. Ke-4 janda yang disebutkan adalah Klara Kei Maran, Lusia Bota Tukan (68), Margareta Hope’ Kelen, Ana Timu Maran, Maria Bunga Maran.

Ketua Serikat Tani Nasional (STN) wilayah NTT, Laurensius Wolo Sina Ritan, dalam emailnya yang dikirim Ketua LMND Sikka, Moes Mulyadi, Senin/01/2013, menjelaskan, bahwa masyarakat Flores terkhusus masyarakat Flores Timur (Flotim), sesunggunya memiliki kekhasan budaya dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Kekhasan dari masing-masing daerah inilah yang kemudian membentuk nation yang disebut negara bangsa oleh the Fauding Father sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

NKRI dibentuk dari persatuan beribu-ribu pulau, beribu-ribu suku bangsa dan beribu-ribu budaya. Karena itu, maka menjadi kewajiban negara untuk menghormati seluruh perbedaan tanpa diskriminasi demi sebuah persatuan. Persatuan dan kesatuan dengan menghormati perbedaan tanpa diskriminasi adalah landasan utama membangun bangsa.

Melihat ketidakadilan itu, forum merasa terpanggil untuk membela ke-4 janda tersebut. Bersama ribuan warga yang menamai diri FPNA-DAULAT, kemudian melakukan aksi akbar. FPNA-DAULAT mengecam pemda dan DPRD untuk meninjau kembali atas pembentukan Peraturan Daerah (Perda) No.8 Tahun 2011 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Forum menilai, perda tersebut bertolak belakang dengan budaya orang Flotim.

Laurensius menekankan, kehadiran Perda No.8 Tahun 2011 sangat bertentangan dengan budaya Flores Timur, khususnya Lamaholot dan NTT pada umumnya. Arak (minuman tradisional Flores Timur), tidak bisa disamakan dengan minuman beralkohol lainnya yang berlebel. Arak memiliki nilai budaya yakni nilai spiritual, nilai hukum, nilai perdamaian, nilai kekeluargaan dan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Laurensius menegaskan, kehadiran Perda No.8 Tahun 2011, telah mencederai nilai budaya Flotim. Perda ini juga telah berakibat pada penangkapan empat janda yang menjual arak. Ironisnya lagi, Pengadilan Negeri Larantuka menajatuhkan hukuman 2 bulan penjara atau denda 20 juta terhadap 4 janda tersebut. “Padahal, perda tersebut belum di sahkan oleh Bupati Flores Timur melalui SK penetapan”, tegasnya.

Hal lain dikatakan Ketua KPK PRD Sikka, Karolus Dolu Tien Toulwala, bahwa bangsa indonesia yang dibangun atas dasar Pancasila dan UUD 1945 yang mengakui keragaman budaya dan adat istiadat tanpa diskrimasi. Jika saat ini pemda Flotim melarang masyarakat untuk memproduksi dan mendistribusi arak sebagai salah satu keragaman budaya  Flotim,maka pemda sendiri telah mengkianati dasar negara itu sendiri.
“Ini tidak benar. Karena, selain pengangkangan terhadap budaya, tindakan pemda pun telah membunuh masyarakat Flotim,” ungkapnya.

Ketua LMND Sikka, Mus Muliadi dalam email tersebut mengatakan, perda inisiatif itu sangat prematur. Karena tidak berlandaskan pada kajian filosofis dan sosiologis dalam pandangan budaya bangsa Indonesia. Menurut Mus, lahirnya perda inisiatif DPRD ini, sama dengan menghilangkan nilai budaya. Perda ini pun sangat berpengaruh pada kondisi ekonomi masyarakat Flores Timur yang bermata pencaharian petani arak.

“Untuk menjual arak tersebut, para janda harus menempuh jarak berkilo-kilo meter.Memang, karena kondisi jalan yang tidak bisa di akses dengan kendaraan”, tandas Mus.

Forum berkesimpulan, bahwa tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian bertentangan dengan Perda itu sendiri. Dalam Perda tidak mencantumkan larangan menjual arak melainkan mengawasi proses pendistribusian. Forum mengecam agar pihak kepolisiantidak mengulangi tindakan tersebut, dan memberikan ganti rugi, serta pemulihan nama baik kepada empat janda.

Untuk itu, lanjut Mus, tidak boleh ada lagi penyitaan arak dan penangkapan terhadap penjual arak di tempat-tempat umum, seperti pasar, kios atau tempat-tempat umum lainnya di Flores Timur. Forum pun menuntut agar Bupati Flotim, DPRD, Kapolres, Kejaksaan Negeri, dan Kepala Pengadilan Negeri, harus menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat dan mencabut perda tersebut.

Forum menuntut pemerintah untuk memberikan ganti rugi kepada ke 4 mama janda yang telah di tangkap dan di hukum. Dan, mengembalikan uang Rp 20.000.000; yang telah di terima Kejaksaan Negeri Larantuka. Menuntut Pemerintah, untuk melakukan denda adat “towe loge” terhadap ke 5 janda. (suaraflores)

Related News

3 komentar:

  1. koment + follow balik gan ...... http://adf.ly/cQboX

    BalasHapus
  2. benar sekali Arak (minuman tradisional Flores Timur), tidak bisa disamakan dengan minuman beralkohol lainnya yang berlebel. Arak memiliki nilai budaya yakni nilai spiritual, nilai hukum, nilai perdamaian, nilai kekeluargaan dan nilai ekonomi bagi masyarakat. saya mendukung gerakan ini :D
    --- salam lewo tanah

    BalasHapus