Kisah Pilu Para Pengantin Cilik


Kisah Pilu Para Pengantin Cilik

ON VS OFF -  Sungguh malang nasib Alemtsahye Gebrekidan. Di usia 10 tahun, Alemtsahye sudah menjadi istri seorang pemuda berusia 16 tahun. Tiga tahun kemudian, di usia 13 tahun yang masih terhitung belia, dia melahirkan putra pertamanya.

Hanya satu tahun berselang, Alemtsahye menjadi janda. Suaminya tewas tertembak dalam perang sipil Ethiopia. Meninggalkan gadis cilik tersebut mengurus putranya seorang diri.
"Masa kanak-kanak saya direnggut paksa di usia 10 tahun," ujar Alemtshaye, saat diwawancara Daily Mail. "Saya ingat saya sedang bermain dan ibu saya memanggil untuk memberitahu bahwa saya akan segera dinikahkan," sambungnya.

Di usia yang begitu belia, Alemtsahye tak kuasa menolak kehendak orang tuanya. Hanya berselang dua bulan, dia resmi berstatus istri pemuda yang belum pernah dia temui sebelumnya.

Tapi Alemtsahye tidak sendiri. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan kisah Alemtsahye mewakili lebih dari 14,2 juta gadis belia di seluruh dunia yang dinikahkan secara paksa oleh orangtua mereka dengan alasan finansial atau tradisi. Kebanyakan pengantin cilik ini datang dari wilayah Asia, Timur Tengah, dan Afrika, dengan India, Nigeria, Afrika Tengah dan Ethiopia sebagai kontributor terbesar.

Dihadapkan pada tanggung jawab yang begitu besar di usia yang masih sangat belia tentu punya konsekuensi tersendiri. Gadis-gadis tersebut umumnya tidak mendapat pendidikan yang layak dan kerap mengalami trauma emosional karena dihadapkan pada kedekatan seksual terlalu cepat. Selain itu, para pengantin cilik tersebut juga rentan terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Yang terburuk tentu saja kehamilan berisiko besar karena terjadi di usia yang belum matang. Belum lagi ancaman meninggal saat melahirkan. "Saat ini, komplikasi akibat kehamilan serta ibu meninggal saat melahirkan merupakan dua penyebab utama kematian gadis berusia 15-19 tahun di negara berkembang," papar Direktur Ekeskutif UNFPA Babatunde Osotimehin.

"Mereka yang dipaksa menikah muda akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri," tutur Alemtsahye, yang kini berusia 38 tahun dan tinggal di London.

Namun, setiap kali mengingat masa lalu, Alemtsahye masih merasa marah pada orangtuanya. "Kami harus paham bahwa pernikahan adalah pilihan orangtua, bukan pilihan anak," katanya. Dia juga masih kesal dengan kenyataan bahwa pendidikannya harus terhenti ketika dia menikah. Tidak lagi bersekolah, Alemtsahye harus menjalani tugasnya sebagai istri. Dia mengambil air ke sungai, mengumpulkan kayu bakar serta memasak untuk suami.

Tapi, beban menikah dalam usia yang masih terlalu belia tidak hanya dirasakan wanita, melainkan juga pria. Di Kasus Alemtsahye, suaminya yang terbilang masih remaja, belum memiliki rasa tanggung jawab yang cukup untuk membangun keluarga.

"Seperti bayi menuntun bayi," kata Osotimehin. "Dan masalah akan semakin bertambah buruk ketika anak hadir di tengah mereka karena tanggung jawab yang dipikul menjadi semakin berat," lanjutnya.
Alemtsahye, yang sudah menjanda di usia muda, dengan beban seorang bayi, merupakan sasaran empuk bagi mafia perdagangan manusia. Alemtsahye menemukan dirinya diselundupkan ke London, Inggris, oleh mafia Arab dengan iming-iming hidup yang lebih baik.

Tapi rupanya nasib baik mulai memihak Alemtsahye, dia diangkat anak oleh sebuah keluarga, kembali ke sekolah dan kini bekerja sebagai sukarelawan dalam kampanye melawan pernikahan dini.

Kepada anaknya, juga para gadis lain, dia kerap mengingatkan agar jangan menikah muda. Kejar pendidikan dan impian sebelum membangun rumah tangga. "Saya sering berkaca pada pengalaman diri, masa kecil yang terbuang serta hilangnya kesempatan mendapatkan pendidikan," kata Alemtsahye.

Dan kepada orangtua yang masih berniat menikahkan putri mereka di usia belia, dia berkata tegas, "Jangan rusak hidup putri Anda. Biarkan dia bermain dan belajar sebelum memasuki jenjang pernikahan," katanya.(viva)

Related News

Post Comment

Tidak ada komentar:

Leave a Reply