Dalam Dunia Kerja, Meniru Tidak Selalu Buruk

Dalam Dunia Kerja, Meniru Tidak Selalu Buruk

Dalam Dunia Kerja, Meniru Tidak Selalu Buruk

Dalam dunia kerja, sadar atau tidak kita sering meniru rekan kerja atau atasan kita. Mulai dari cara berbicara dengan klien, menegur bawahan, menyikapi masalah, atau menghadapi situasi-situasi lainnya. Ternyata meniru itu tidak senegatif kedengarannya. Seperti apa meniru atau mirroring yang sehat itu?

Bagusnya, mirroring ini bisa diterapkan dalam segala aspek, tidak hanya gaya berpakaian (yang tentunya lebih sulit dilakukan –kalau tidak boleh disebut tidak bisa– seandainya atasan Anda seorang pria). Mulai dari bahasa tubuh, nada bicara, pilihan kata-kata, hingga tempat gaul, semua bisa ditiru. Dan peniruan ini bisa dilatih, sehingga kemudian menjadi serupa.

Secara alami, jika Anda mengimitasi gaya seseorang, orang yang diimitasi biasanya akan merasa tersanjung (kecuali kalau dia tipe orang yang sangat lempeng. Tersanjung karena merasa dipuja, merasa jadi panutan. Masalahnya, sampai sebatas apa kita boleh dan bisa meniru? Bolehkah habis-habisan meniru? Kalau ya, apakah itu berarti kita meninggalkan orisinalitas dan autentisitas diri kita?

“Kalau Anda menyontek plek, itu judulnya menyontek, bukan mirroring,” tegas Sylvina Savitri, konsultan Experd. Anda baru akan terlihat canggih, kalau bisa meniru, lalu memadukannya dengan gaya Anda, tanpa meninggalkan kekuatan dan karakter Anda sendiri. Sehingga, kemudian muncullah gaya Anda sendiri, bukan gaya Anda yang meniru bos Anda.

Misalnya,  atasan Anda adalah orang yang cenderung kaku dan straight to the point. Positifnya, ketika memimpin meeting, tidak ada basa-basi sehingga meeting itu berlangsung cepat dan efektif. Sementara, Anda sudah telanjur dikenal sebagai manajer yang penuh humor.

Akibatnya, karena kerap diseling dengan bercanda, meeting yang Anda adakan jadi berlangsung lebih lama. Anda bisa, kok, meniru gaya atasan yang to the point, tanpa meninggalkan sisi humoris Anda. Intinya, tiru gaya yang nyaman Anda lakukan. Yang tidak membuat Anda nyaman, tidak usah ditiru.

Oke, di satu sisi, mirroring adalah sebuah strategi yang valid untuk menaiki tangga karier. Lalu, apa yang terjadi dengan ungkapan ‘be yourself’ yang sudah sejak zaman dahulu kala didengung-dengungkan orang?

“Be yourself is the best strategy of everything. Begitu juga di dunia karier. Strategi mirroring diperlukan ketika Anda berada di posisi yang berseberangan, misalnya mempunyai agenda untuk menjual ide kepada atasan Anda,” ungkap Sylvina.

Mirroring dilakukan agar Anda bisa ‘masuk’ ke atasan Anda, mendekati dia, tapi bukan berarti membuat Anda berubah menjadi dia. “Jadi, Anda bisa melakukan strategi mirroring sambil tetap memperlihatkan diri Anda yang sesungguhnya,” tambah Sylvina.

Ia mengingatkan, kita perlu berhati-hati dalam proses menyamakan frekuensi ini, dalam memilih apa yang akan ditiru, dalam memilih mana yang cocok untuk kita, agar tidak terlihat seperti menjilat. Sylvina memandang bahwa orang mengejar penerimaan dari lingkungan sekitar (acceptance), yang berujung pada esteem.

Kalau seseorang melakukan mirroring sampai membabi-buta, tidak lihat-lihat situasi, segala rupa ditiru, bisa jadi ia sebenarnya sedang galau. Belum bisa menentukan apa yang dia inginkan, belum bisa menentukan karakter dirinya sendiri. (fmn/rsn-onvsoff)

Related News

Post Comment

Tidak ada komentar:

Leave a Reply