Kali Ini Wikileaks Sentil Ibu Ani Yudhoyono
ON VS OFF - Banyak kasus yang selama ini terselubung, mulai terkuat. Ketika orang bertanya-tanya siapa itu Bunda Putri, belakangan ada pengakuan dari Menteri Pertanian Suswono bahwa Bunda Putri itu adalah seorang pengusaha.
"Dia (Bunda Putri, Red) pelaku usaha. Namanya saya enggak kenal persis. Saya hanya dikenalkan namanya Bunda Putri. Dia dari Cilimus, Kuningan, Jawa Barat," kata Suswono saat bersaksi dalam sidang Luthfi Hasan Ishaaq, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (3/10/2013).
Tak lama kemudian muncul nama Bu Pur. Publik pun bingung, apakah Bu Pur ini adalah Bunda Putri atau bukan. Dalam persidangan terkait kasus korupsi Hambalang kemudian terkuak, Bu Pur itu adalah Sylvia Solehah.
Presiden Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono memang mengenal Ibu Pur sebagai kolega, mengingat suami Ibu Sylvia Soleha merupakan teman satu angkatan Presiden Yudhoyono saat menjalani pendidikan taruna AKABRI di tahun 1973.
“Yang bersangkutan adalah taruna dari Kepolisian, mengingat pada tahun 1973 masih digabung antara taruna TNI dan Kepolisian,” kata Juru Bicara Kepresidenan Julian A Pasha di Bandara Juanda Surabaya, Rabu (4/12), saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan kerja ke Bali dan Jawa Timur.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto juga memastikan Sylvia Solehah alias Bu Pur dan Bunda Putri orang yang berbeda.
“Bunda Putri yang fotonya tersebar dengan para pejabat itu beda dengan Bu Pur,” kata Djoko kepada sebuah majalah nasional, Kamis, 24 Oktober 2013, pekan lalu.
Setelah Bunda Putri dan Bu Pur, kini sebuah nama mencuat akibat laporan Wikileaks. Nama Ibu Ani Yudhoyono disebut-sebut memainkan peran penting dalam politik Tanah Air.
Berita ini telah beredar luas di berbagai milis dan media sosial lainnya.
Dalam sebuah milis dituliskan: Harian The Australian membeberkan alasan aksi mata-mata terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Negara Ani Yudhoyono beberapa waktu lalu.
Hanya berselang tiga hari sebelum berlangsungnya kampanye di Australia, kabel diplomatik berstempel 'rahasia' dikirimkan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta kepada diplomat AS di Canberra dan CIA.
Kabel itu membicarakan dinamika baru peta politik Indonesia. Para intelijen ini meyakini ada pemain yang menjadi penasihat penting bagi SBY.
Orang tersebut bukan wakil presiden, bukan pula menteri dalam kabinet SBY, tapi istrinya sendiri yakni Ani Yudhoyono.
"Keberadaan Kristiani Herawati telah mengorbankan penasihat kunci lainnya. Ibu negara diduga telah memanfaatkan akses kepada presiden untuk membantu teman-temannya dan menjatuhkan lawannya, termasuk Wakil Presiden (Jusuf) Kalla," tulis kabel tersebut, Minggu (15/12), seperti dikutip dari The Australian.
Informasi tersebut membuat Direktorat Pertahanan Signal dan mata-mata lain yang bertempat di Canberra ingin mengetahui lebih jauh dinamika baru itu.
Mereka menilai Ibu Ani memainkan peran untuk membangun dinasti keluarga dengan memasang Agus Harimurti Yudhoyono sebagai presiden selanjutnya.
Tak hanya itu, sumber di Wikileaks juga menyebutkan, Ani Yudhoyono adalah satu-satunya orang yang mendapat kepercayaan penuh dari presiden dalam menghadapi setiap isu.
"Ibu Ani adalah satu-satunya orang yang Presiden benar-benar bisa percaya pada setiap masalah dan sebagai presiden jalan untuk menuju paruh kedua masa jabatannya, ia semakin bergerak di berbaris dengan istrinya," ungkap Wikileaks.
Harian The Australian juga menyebutkan, Ani sangat berambisi untuk menempatkan Agus Harimurti dan menjadikan ibu negara sebagai capres 2014.
Jabatan itu dilakukan sampai putranya mencapai usia yang cukup sampai dapat dipilih menjadi presiden pada Pemilu 2019.
Wikileaks membeberkan, posisi Ani Yudhoyono sebagai ibu negara membuatnya mudah bergerak bebas di lingkungan istana.
Kondisi itu membuatnya lebih mudah dalam memberikan masukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menghadapi sejumlah masalah.
Menjelang Pemilihan Umum 2009 lalu, salah satu sumber intelijen di sekitar istana melaporkan dengan jelas ada pergeseran kekuasaan yang mengarah ke Ibu Ani.
Kondisi itu membuat penasihat presiden Sudi Silalahi semakin merasa terpinggirkan, ia pun tidak lagi memiliki daya untuk memberikan nasihat atasannya tersebut.
"Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi , hampir mundur pada bulan Januari akibat frustrasi dengan dinamika baru di istana," ungkap Wikileaks, Minggu (15/12).
Wikileaks juga ungkap kedekatan Ical-Ani Yudhoyono. Mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie (Ical) pernah melakukan pendekatan intensif dengan Ibu Negara Ani Yudhoyono pada tahun 2005 lalu.
Langkah ini dia lakukan setelah di-reshuffle dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Dalam laporan yang dibocorkan Wikileaks, Minggu (15/12), Ical dilaporkan langsung tebar pesona untuk mendapatkan kembali perhatian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono .
Bahkan, pria yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar ini semakin tekun melakukan pendekatan dengan Ani dan keluarganya.
"Entah bagaimana (Bakrie) berhasil membalikkan isu bencana aliran lumpur Jawa Timur yang diprakarsai perusahaannya Lapindo Brantas Corporation, dia juga terus meningkat profilnya dalam administrasi kenegaraan," ungkap Wikileaks.
Dalam kawat diplomatik berstempel 'rahasia' tersebut, mengindikasikan kedekatan Ical dengan ibu negara sempat membuat hubungan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan Ani berada di ujung tanduk.
Bahkan, Ani sempat marah saat JK berseloroh soal agama yang dianut istri SBY ketika bertarung pada Pilpres 2009.
Di saat bersamaan, JK juga menyimpan minat untuk meningkatkan hubungannya dengan Ani, dengan misi mendapat persetujuan dari istri SBY tersebut.
Keputusan ini akan berdampak besar terhadap kelanjutan pasangan SBY-Kalla pada Pemilu 2009.
The Australian juga ungkap strategi SBY raup suara Islam. Para intelijen nampaknya tidak puas melihat sepak terjang Ibu Negara Ani Yudhoyono di lingkaran Istana.
Mereka juga memantau pergerakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat mengikuti musim kampanye Pemilu 2009. Ketika itu, SBY tengah berjuang untuk dapat kembali menjabat sebagai presiden.
Dilansir The Australian, Minggu (15/12), kala itu Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) coba menyebarkan rumor dengan menyebut Ani Yudhoyono beragama Kristen karena jarang menggunakan kerudung.
Isu tersebut membuat Ani mulai menggunakan busana muslim dalam berbagai kesempatan maupun acara-acara resmi.
Di saat bersamaan, intelijen Australia mulai memperhatikan hubungan antara SBY dengan kelompok Islam untuk mengamankan suara kaum religius.
Meskipun di pemilihan legislatif April 2009, suara dari partai berlatar belakang agama mengalami penurunan dari 38 persen pada 2004 menjadi 28 persen.
Kelompok Islam masih memiliki peranan penting bagi SBY. Terutama dalam menghadapi serangan yang dilancarkan dari kubu JK.
"Yudhoyono tahu pentingnya Islam di Indonesia. Dia (SBY) berupaya meyakinkannya dengan beribadah sebagaimana umat muslim dan telah melaksanakan ibadah haji. Namun, dia melupakan hubungannya dengan partai berazaskan Islam yang bergabung dengan koalisinya, seperti PKS. Di saat bersamaan, dia berada di belakang demi mendukung isu yang terjadi di kalangan umat muslim, termasuk soal Timur Tengah atau mendukung undang-undang antipornografi," tulis kawat diplomatik yang dikirimkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Akan tetapi, intelijen tidak menemukan SBY dan Ibu Ani memberikan bantuan dana atau dukungan politik bagi kelompok Islam radikal.
Keduanya tetap berkomitmen untuk memerangi ekstremisme dan terorisme, sekaligus mendukung Indonesia menjadi negara sekuler.
"Sejak (PKS) mulai menonjol pada lima tahun lalu (Pemilu 2004), PKS telah berbuat banyak untuk memecah ketakutan terhadap kegelapan di jantung demokrasi Indonesia. Pemimpin partai merupakan pendukung Abu Bakar Ba'asyir, kepala spiritual Jemaah Islamiyah, kelompok teroris yang bertanggung jawab atas pemboman bunuh diri di Bali yang membunuh ratusan jiwa," seperti dilansir dari The Australian. [berbagai sumber/L-8]
Baca Juga Versi Aslinya:
REF:
A. JAKARTA 1059
B. JAKARTA 271
C. 06 JAKARTA 13526
JAKARTA 00002924 001.2 OF 002
Classified By: Pol/C Joseph Legend Novak, reasons 1.4(b,d).
1. (S) SUMMARY: According to contacts, Indonesia's First Lady has expanded her influence within the Palace and emerged as the President's undisputed top advisor. Kristiani Herawati's ascendance has apparently come at the expense of other key advisors. The First Lady has allegedly leveraged her access to the President to help her friends and disparage her foes, including Vice President Kalla. While unconfirmed rumors of the First Lady's business relationships continue to float around Jakarta, there is little evidence to support accusations that she has enriched herself at the public trough. There is also no evidence that the First Lady has exerted her influence on foreign policy issues. END SUMMARY.
A FORCE TO BE RECKONED WITH
2. (S) Complaints about the First Lady's role in Palace affairs emerged almost as soon as President Yudhoyono assumed office in 2004. According to a host of Mission contacts, Ibu Ani--as she is known in Indonesia--quickly demonstrated a tendency to weigh in on policy, politics, and personnel matters. The President's advisors privately grumbled about her unseen influence in the decision-making process, but there was at least a sense in the early days of the administration that her voice was only one of the many President Yudhoyono listened to during his lengthy deliberations on matters of state.
3. (S) Over the course of the last year or so, contacts have reported that the balance of power within the Palace has shifted palpably in Ibu Ani's direction. As Presidential Advisor T.B. Silalahi told poloff in Ref B, members of the President's staff increasingly feel marginalized and powerless to provide counsel to the President. Silalahi, for example, told poloff that his cousin, Presidential Cabinet Secretary Sudi Silalahi, almost resigned in January out of
SIPDIS
frustration with the new Palace dynamic.
4. (S) According to Dadan Irawan, a high-level Golkar official (Golkar is the largest party in Indonesia), Ibu Ani has moved to restrict access to the President -- even among members of the Presidential Staff and the newly formed Presidential Advisory Board (Ref A). Dadan told poloff that by strengthening her gate-keeping role, the First Lady was able to expose the President to views and policy perspectives of her own choosing. According to Yahya Asagaf, a political appointee at the State Intelligence Agency (BIN), it was also becoming more obvious that the First Lady's opinion was "the only one that matters."
A DISTINCT ECHO?
5. (S) According to family friend Ridwan Soeriyadi, the First Lady's influence could partially be explained as a by-product of the President's own cautiousness and his understandable skepticism of his advisors' motives. Ridwan told poloff that Ibu Ani was the only person the President could truly trust on every issue, and as the President moved into the second half of his term, he was increasingly moving in lock-step with his wife. Ridwan likened Yudhoyono's relationship with Ibu Ani to former president Suharto's relationship with his wife, and believed that on some level Yudhoyono possibly viewed Suharto's relationship as a kind of model for his own presidency (SBY worked closely with the former president
HELPING FRIENDS AND PUNISHING FOES
6. (S) Dadan Irawan told poloff that Coordinating Minister for People's Welfare Aburizal Bakrie was perhaps the most obvious beneficiary of the First Lady's Palace role. According to Dadan, after the President demoted Bakrie from his perch atop the Coordinating Ministry for the Economy in
JAKARTA 00002924 002.2 OF 002
late 2005, Bakrie immediately launched a charm offensive on the First Lady to try and work his way back into the President's good graces. Dadan reported that over the first half of 2006, Bakrie assiduously ingratiated himself with the First Lady and her family; Bakrie's strategic courtship apparently worked in spades. Not only did Bakrie somehow manage to weather the East Java mud-flow debacle initiated by his Lapindo Bras Corporation, but he has also steadily increased his profile within the administration
7. (S) If Bakrie's approach represents the model blueprint for managing relations with the First Lady, Vice President Kalla's frosty association with Ibu Ani undoubtedly sits at the other end of the spectrum. By all accounts, the First Lady actively loathes the Vice President and has launched a not-so-secret campaign to have him replaced at the bottom of the 2009 ticket. The Vice President has apparently evinced little interest in improving his relationship with her. This decision may ultimately come at a cost for Kalla, however, as Mission contacts uniformly agree the First Lady will have a major say in whether or not the SBY-Kalla pairing stays together in 2009 (see septel).
ALLEGATIONS OF CORRUPTION
8. (S) As Ibu Ani's influence has expanded, so too has the list of her enemies both inside and outside the Palace. Accusations of corruption have dogged her since Yudhoyono first assumed office, and Ibu Ani's enemies have increasingly worked to spread rumors about her in the intervening years. Most of the rumors are short on specifics, however, and generally seem to gain currency primarily because of the First Family's modest financial means. (Note: The President spent the bulk of his career in the military, while the First Lady herself comes from a well-known military family. Neither of their families is considered to be very wealthy.) Yudhoyono's supporters and adversaries both recognize this core financial vulnerability and rumors that Ibu Ani may be exploiting the presidency to address this issue seem to gain traction as a result. Nevertheless, at this point there is no evidence to substantiate any of the rumors involving the First Lady.
NO INTEREST IN FOREIGN POLICY
9. (S) There is no indication that the First Lady has an abiding interest in foreign policy or holds any strong views toward the United States; her influence would seem to reside primarily in the domestic political sphere. While she accompanies her husband on foreign trips, she rarely travels internationally on her own and apparently has little interest in serving as a GOI envoy on any international issues. Likewise, we have never heard of foreign diplomats trying to meet with her to influence issues and--though she is accessible at receptions--she tends to steer clear of substantive exchanges with foreigners.
Post Comment
Tidak ada komentar: