RUU Ormas merasuk ke wilayah privat dari kebebasan berserikat

Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa (RUU Ormas) akan membatasi kebebasan berorganisasi. Bila RUU ini berlaku, maka rumah sakit, panti asuhan, sekolah, bahkan kelompok arisan harus mendaftarkan diri

rancangan undang undang organisasi massa
tolak RRU Ormas
RUU Ormas menjadi po­lemik di kalang­an kelompok masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Menyikapi hal ini, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Wanita Kato­lik Republik Indo­nesia (DPP WKRI), Justina Rostiawati, mengatakan, WKRI masih meng­ikuti perkembangan pembahasan RUU Ormas. WKRI, katanya lebih lanjut, mendukung sejumlah pihak yang menyatakan keberatan atas kehadiran RUU ini. “Ada hal mendasar yang memang perlu dipertimbangkan soal ada tidaknya urgensi urgensi untuk membuat UU Ormas karena sudah ada UU yang mengatur tentang organisasi, yaitu UU Yayasan dan UU Perkumpulan,” tulisnya melalui surat elektronik beberapa waktu lalu.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal Presidium Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Christo Kabelen. Ia mengatakan, RUU Ormas merupakan instrumen negara yang merasuk ke wilayah privat dari kebebasan berserikat. Menurut Christo, draft RUU tersebut menyatakan, negara menjadi penentu dapat tidaknya seseorang untuk berserikat. “Paradigma RUU Ormas ini jelas bertentangan dengan paradig­ma hak asasi manusia,” tegasnya

Sementara Ketua Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), Muliawan Margadana menyampaikan, RUU Ormas memang perlu dikaji lagi. Pengaturan Ormas, menurutnya, jangan sampai terjebak pada prinsip hak asasi manusia yang individualistik, karena sistem sosial negara Indonesia berlandaskan Pancasila.

Menurut Sekretaris Ko­misi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (HAK KWI), Pastor A. Benny Susetyo, RUU Ormas juga akan berdampak bagi lembaga Gereja. “Intervensi pemerintah memperlemah po­sisi Gereja. Karena Gereja akan memberi laporan terkait dana bantuan asing dan pengunaannya harus berdasarkan persetujuan pemerintah,” paparnya. Ro­mo Benny menegaskan, negara demokrasi tidak memerlukan UU Ormas.

Koordinator Indonesia Corrup­tion Watch, Johanes Danang Widoyoko juga meng­ungkapkan hal yang sama. RUU Ormas berpo­tensi membungkam gerakan antikorupsi. Menurutnya, saat ini sebagian besar pelaku korupsi adalah kepala daerah yang dalam RUU Ormas memiliki kewenangan besar untuk menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan membekukan Ormas bila dianggap kegiatannya membahayakan ketertiban umum. “Upaya pembongkaran korupsi oleh masyarakat bisa diang­gap sebagai kegiatan membahayakan kegiatan umum, sehingga gerakan antikorupsi terancam dibekukan para koruptor itu,” ujarnya.

Sementara, Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, menegaskan, Komnas HAM telah menyampaikan sikap resmi pada Pemerintah dan DPR. “Komnas HAM menolak tegas RUU Ormas,” ung­kapnya

Sumber : HIDUPKATOLIK.com

Related News

Post Comment

Tidak ada komentar:

Leave a Reply