Pemimpin Indonesia Harus Berkarakter Kebangsaan

Pemimpin Indonesia Harus Berkarakter Kebangsaan

Pemimpin Indonesia Harus Berkarakter Kebangsaan

Ketua Majelis Luhur Taman Siswa, Prof. Sri Edi Swasono menyayangkan perilaku para calon pemimpin saat ini yang lebih mementingkan koalisi. Padahal yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pemimpin yang berkarakter kebangsaan kuat, baik dari tingkat bawah sampai ke tingkat Presiden. 

''Pemimpin yang besar itu yang mampu membentuk konsensus bukan mencari konsensus,'' tegasnya dalam acara seminar bertajuk ''Peran Bupati/Wali Kota dalam Kepemimpinan Nasional Berdasarkan Pancasila'' di University Club UGM.

Dia menegaskan, Pancasila harus menjadi ruh bangsa Indonesia sehingga dapat menyatukan seluruh elemen perbedaan yang ada. Indonesia, menurutnya memiliki karakter demokrasi tersendiri. Disebutkan, sebagai demokrasi konsensus yang mengedepankan musyawarah mufakat. ''Yang terjadi saat ini justru demokrasi voting, karena voting inilah rezim yang berkuasa bisa merampok negara,'' paparnya.

Dicontohkan, terdapat 748 permohonan gugatan review UU ke Mahkamah Konstitusi. Dari jumlah tersebut 126 di antaranya dikabulkan. Hal itu, menurutnya, menunjukkan bahwa anggota dewan membuat peraturan yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Jika kondisi itu berlangsung terus-menerus maka akan merugikan bangsa Indonesia.

''Jika terus terjadi, maka preman-preman akan ikut menduduki kekuasaan negara, tanpa visi, tanpa misi dan bertengger dalam pemerintahan,'' tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Kalimantan Barat Drs Cornelis MH mengisahkan pengalaman empirisnya selama menjadi gubernur. Dia mengatakan bahwa kasus-kasus yang menimpa kepala daerah di Indonesia bukan hanya karena kesalahan pribadi namun juga UU yang tidak jelas. ''Saya tahu bahwa UU dibuat by order. Tidak hanya itu, UU juga kadang bersifat karet,'' terangnya.

Sementara itu guru besar Sosiologi UGM Prof Dr Tadjuddin Noer Effendi MA menilai, saat ini banyak elit politik yang lebih sering menggunakan partai politik sebagai instrumen untuk kepentingan kekuasaan atau kekayaan pribadi daripada menyuarakan kepentingan rakyat. Menurutnya, dalam situasi seperti itu Pancasila sebagai ideologi negara nyaris tidak terdengar dalam khasanah kehidupan politik. (suaramrdk/rsn-onvsoff)

Related News

Post Comment

Tidak ada komentar:

Leave a Reply