Portal.ONVSOFF.com - Memutuskan untuk menikah adalah akhir dari perjuangan cinta? tentu saja tidak. Pernikahan adalah awal dari kehidupan cinta yang baru.
Banyak sekali kita temukan pernikahan tidaklah menjadi suatu hal yang indah, pernikahan terlihat menakutkan. Tentu saja itu dikarenakan hilangnya kadar cinta dalam hubungan pernikahan tersebut.
Bosan, jengkel bahkan jenuh kita rasakan dalam hubungan yang kita jalin, sebenarnya adalah hal yang biasa. Bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut? bagamana caranya mempertahankan pernikahan hingga mencapai 50 tahun?
Tips dibawah dikutip dari ernijuliakok, silakan disimak semoga bermanfaat untuk anda
1. Staking possitive anchors; menumpuk memori-memori positive. Bila Anda sudah lama menikah atau hidup bersama, barangkali Anda telah melewatkan banyak kesempatan mengumpulkan pengalaman-pengalaman positf-menyenangkan. Namun, tidak perlu khawatir, otak manusia mampu melakukan perjalanan tapak tilas ke masa lampau. Ingatlah kembali saat-saat Anda jatuh cinta pada pasangan Anda. Apa yang Anda lihat, dengar dan rasakan. Hidupkan kembali pengalaman-pengalaman tersebut senyata mungkin. Lalu tempelkan telapak tangan kanan Anda di atas dada sebelah kiri, dan iringi dengan suatu ucapan atau nyanyian, contoh: “Aku akan selalu mencintai…(nama) seperti saat pertama kita bertemu pandang.” Tambahkan lebih banyak pengalaman-pengalaman menyenangkan ke dalam kontainer memori Anda. Pada saat Anda merasa marah/kesal hati terhadap pasangan Anda, tarik nafas panjang-panjang, tempelkan telapak kanan Anda di atas dada kiri dan ucapkan atau lantunkan kalimat cinta Anda.
2. Bicarakan ketidaksetujuan Anda berdua secara dewasa. Jangan mengelak dan menarik diri di tengah pertengkaran. Pasangan yang bertengkar lebih langgeng dibandingkan pasangan yang menarik diri. Sebab bagaimana pun pertengkaran merupakan salah-satu bentuk komunikasi sepanjang orang tidak dikuasai oleh emosi pertengkaran menjadi perdebatan dan jalan menemukan solusi. Bila pasangan Anda terlalu marah pada saat itu, katakan bahwa Anda ingin keluar sebentar untuk menenangkan diri dan akan membicarakan persoalan yang dihadapi nanti.
3. Kompromi dalam batas yang wajar itu baik, misalnya ketika persepsi Anda berubah tentang pasangan Anda-dia tidak seperti dulu ketika pertama kali bertemu,-ingatlah bahwa mungkin Anda yang berubah. Apakah benar pasangan Anda sudah tidak layak dijadikan pasangan hidup?
4. Jadilah pendengar yang baik. Kefektifan komunikasi bukan pesan yang disampaikan melainkan respon yang kita dapatkan dari pihak lainnya. Selalu bertanya kepada diri sendiri apakah Anda sudah mendengarkan dengan baik?
5. Apakah Anda telah berhasil membuat pasangan Anda memahami Anda? Apakah Anda memahami perasaan Anda sendiri? Apakah Anda memberikan 'acknowledgement' kepada pasangan (bukan sekedar pujian)? Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal ketika meminta maaf, bukan menggombal?
5. Jangan sekali-kali menyerang level identitas pasangan Anda, misalnya mengatakan: “Kamu ini pemalas!” padahal pesan yang ingin Anda sampaikan adalah perilaku pasangan Anda. Atau: “Kamu ini sama saja dengan ibumu, nyinyir,” padahal Anda dapat memberitahukan pasangan Anda bahwa Anda merasa terganggu ketika ia mengomeli anak-anak dengan “salad words” dan menasihatinya untuk “to the point” supaya tidak membingungkan.
6. Gunakan “I language” supaya perasaan Anda dipahami. Sebagai contoh: Pasangan Anda selalu terlambat memenuhi janji, Anda dapat mengatakan: “Sayang, aku merasa terabaikan setiap kali terlambat dijemput.” Kalimat “I language” juga membantu kita menghindari menyerangi level identitas (orangnya).
7. Jangan berharap otak pasangan Anda akan terus-menerus memproduksi dopamine. Fase itu telah lama berakhir, ingat pasangan Anda telah mendapatkan Anda sebagai reward. Hal terpenting sekarang adalah apakah relasi ini membuat Anda berdua terus bertumbuh? Apakah Anda berdua saling melengkapi dan saling mendukung dalam pertumbuhan? Jika tidak…tindakan apa yang terbaik?
Post Comment
Tidak ada komentar: