Seperti Budak Warga NTT Dipekerjakan tanpa Dibayar di Bali


Seperti Budak Warga NTT Dipekerjakan tanpa Dibayar di Bali

Perdagangan orang atau human trafficking kembali terjadi di tanah air, kali ini kejadian kembali menimpa warga NTT.

Kasus perdagangan orang yang berasal dari NTT ini terjadi di Pulau Dewata – Bali. Di laporkan enam orang gadis dan seorang pria dengan umur 15 tahun – 25 tahun menjadi korbanya.

Menurut pengakuan salah seorang korban “YANTI” sebelumnya dirinya dibuang majikannya di terminal Batubulan, Gianyar, Bali dengan hanya dibekali uang Rp 50 ribu supaya pulang ke Flores setelah menjadi PRT selama tiga tahun tanpa terima gaji.

Wakil Sekretaris Umum Flobamora Bali, Rahman Sabon Nama melalui rilisnya yang dikirim ke seluruh media cetak dan online menyebutkan, ketujuh orang baru tersebut sebelumnya dipekerjakan di pabrik Mangsi Kopi di Jl. Kertanegara, Ubung Kaja, Denpasar, milik Wayan Mar Hendra. Rata-rata mereka sudah bekerja lima bulan sampai 1,5 tahun. Karena tak tahan dengan pekerjaan dan tidak pernah mendapat gaji serta perlakuan kasar bosnya, tiga diantara mereka kompak kabur dari perusahaan lalu mengadu ke kantor LBH PETA.

Menurut Yohanes B. Raharjo dan Lies Subario, staf LBH PETA yang mendampingi para korban, kasus ini sudah dilaporkan ke Polresta Denpasar tanggal 6 Maret 2014 dengan STLP No: 217/III/2014/Bali/Reska Dps. Terlapor adalah Wayan Mar Hendra dengan sangkaan Pasal 2 UU No 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia dan Pasal 83 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

“Kemungkinan akan meningkat juga ke undang-undang tentang KDRT,” kata Yohanes B. Raharjo dalam pertemuan dengan tim Flobamora, Sabtu, 8 Maret 2014. “Para korban juga sudah di BAP, jadi kita tunggu saja perkembangan selanjutnya dari kepolisian,” sambung Lies Subario.

Salah seorang korban, Julieta 18 tahun, asal Atambua, mengisahkan, dia direkrut oleh bu Arni yang juga asal Atambua, untuk kerja di Bali dengan iming-iming gaji tinggi.

Tak hanya Julieta tetapi juaga ada Nofiana dan Agustina. Bertiga mereka naik peswat dari Kupang. Tiba di Ngurah Rai, mereka dijemput oleh supir PT Ibu Jero dan diantar ke kantor PT Ibu Jero di Jl Pidada, Ubung.

Seminggu di Ibu Jero, kemudian mereka dikirim ke Pabrik Kopi Mangsi, Jl Kertanegara, Ubung Kaja. Selama mereka bekerja di situ, tidak pernah mendapat gaji, cuma dikasih makan dan penampungan.

“Ternyata di situ ada pekerja dari Flores juga, tapi mereka tidak pernah ceritra apa-apa,” lanjut Julieta yang mulai bekerja sejak 22 April 2012 sampai 5 Maret 2014 tanpa gaji. “Kalau saya direkrut ibu Silvia, janjinya juga begitu tapi ternyata kami tidak dapat gaji,” terang Agnes yang masih dibawah umur, asal Maumere.

Kata Julieta, soal gaji, kata bosnya nanti dipotong tiga bulan. “Tapi kami tidak tahu berapa gaji per bulan. Kalau butuh uang untuk beli sabun, sampo atau softex pinjam di bos tapi nanti potong gaji. Ternyata setelah empat bulan dan seterusnya kami tidak dapat gaji,” lanjut Julieta.

Meski ada yang bekerja lebih dari setahun dan tanpa gaji, para pekerja ini tidak bisa berbuat apa-apa. “Mau lari gak tau ke mana. Mau mengadu ke mana juga tidak tahu,” ucapnya.
Puncakya adalah pada tanggal 5 Maret 2014 pagi. Saat itu, seperti biasa sang bos menyuruh mereka bekerja menggoreng kopi. Ripka yang mendapat tugas itu rupanya membuat kesalahan fatal. Kopinya hangus. Sang bos marah besar dan mengancam akan potong gajinya. “Padahal kami tidak pernah tahu berapa gaji sebulan,” ketus Julieta.

Besoknya, tanggal 6 Maret 2014 Ripka kembali mendapat giliran menggoreng kopi. Ripka menolak karena takut dipotong gajinya. Sang bos, Wayan Mar Hendra naik pitam. Dia marah besar lalu mengusir mereka dari pabriknya. Seperti mendapat “angin segar”, mereka mulai ancang-ancang kabur.

Adalah Andreas Feka, 25 tahun asal Desa Oelneke, Kecamatan Musi, Kabupaten Timor Tengah Utara, yang punya ide megajak mereka kabur. Dia mengajak Julieta dan Regina mengadu ke kantor LBH PETA. Dari sinilah kasus perdagangan orang ini mulai terkuak. John Korasa dan kawan-kawan langsung mendatangi pabrik Mangsi Kopi mengevakuasi para pekerja lainnya sehingga total ada tujuh pekerja.

Berbeda dengan enam pekerja wanita yang dikrekrut oleh jaringan PT Ibu Jero di daerah asal mereka, Andreas Feka justru datang sendiri melamar sebagai supir dan diterima bekerja sejak 17 Nopember 2013. “Dijanjikan dapat gaji tapi selama ini juga tidak dapat gaji,” kata Andreas.

Menurut Ketua Umum IKB Flobamora, Yusdi Diaz, dengan kasus human trafficking terbaru yang sudah dilaporkan ke Polresta Denpasar dan Polda Bali, polisi harus proaktif meminta keterangan lembaga penyalur di Bali.

“Teman-teman dari LBH PETA sudah jelas menyebut PT Ibu Jero sebagai penyalur ke Mangsi Kopi, polisi harus segera minta keterangan Ibu Jero juga, jangan didiamkan, sedangakan bos Mangsi Kopi yang sudah dimintai keterangan harus terus didalami supaya jelas kasusnya,” kata Yusdi Diaz saat membahas kasus ini bersama LBH PETA di sebuah yayasan yang sementara menampung para korban.

Kata Yusdi Diaz, pihak Flobamora Bali akan mengawal proses hukum kasus ini dan mengkoordinasikan dengan pemerintah daerah NTT. “Kami minta Polda NTT menyelidiki jaringan trafficking ini. Kasus ini bukanlah pertama tetapi terus berulang. Jangan sampai ada kesan pembiaran karena korbannya rakyat kecil,” pungkas Yusdi Diaz.

Related News

1 komentar:

  1. semoga segera diambil tindakan oleh para pemangku kepentingan

    BalasHapus