Membincang Teologi Pembebasan Ala Buddhisme
Portal.ONVSOFF.com - Tanggal 17 Oktober adalah Hari Pemberantasan Kemiskinan, demikian judul artikel dalam buletin Jumat, Uswatun Hasanah, yang diterbitkan salah satu ormas Islam di Indonesia (18/10/2013).
Dari buletin ini penulis kembali teringat pemikir kawakan, Karl Marx yang pernah mengatakan, agama adalah candu! Konteks ketika itu adalah agama disinyalir hanya penghibur bagi para khalayak tertindas.
Selain itu, agama disinyalir kuat justru menjadi pelanggeng bagi kaum penguasa yang menghisap khalayak tertindas itu. Bersabarlah atas ketimpangan dunia, karena dunia sejati ada di langit sana, suatu saat nanti.
Perkara inilah yang dikritik hebat oleh Karl Marx. Alih-alih merubah kondisi penuh ketimpangan, yang terjadi adalah reproduksi atas ketimpangan.
Problematika ini dijawab oleh kalangan beragama dengan mengkonsepsikan suatu teologi yang tidak sekedar berfokus pada 'Tuhan' dilangit sana, melainkan juga berfokus pada upaya dekonstruksi terhadap segala macam ketimpangan dan eksploitasi yang k ian menggurita di dunia ini. Teologi ini acapkali disebut sebagai Teologi Pembebasan.
Teologi pembebasan mengawali dirinya di daratan Eropa dalam rupa pemikiran tentang pembebasan manusia dari ancaman globalisasi dan berbagai macam dosa sosial. Pemikiran ini lantas menjelma dalam rupa praktek di dataran di Amerika Latin sebagai jalan perlawanan atas pemerintahan yang korup dan otoriter.
Berbasis tradisi kristianitas, teologi pembebasan kerapkali diidentikan dengan tradisi marxian dalam mengupayakan suatu perubahan agar eksploitasi dan ketimpanan sosial politik ekonomi yang kian menganga.
Sehingga dibanyak wilayah, teologi pembebasan menjadi barang tabu yang menjadi sasaran pelarangan (Nitiprawiro, 2000). Padahal teologi pembebasan tidak identik dengan kristianitas maupun juga tradisi marxian.
Teologi pembebasan pada dasarnya adalah upaya adaptif dari tradisi keagamaan dalam konteks sosial agar janji pembebasan ataupun keselamatan surgawi tidak sekedar hidup dalam teks suci, melainkan terjadi disini dalam dunia kekinian.
Ketidakidentikan teologi pembebasan dengan kristianitas dan tradisi marxian bisa dilihat dari berkembangnya juga pola pikir teologi pembebasan dikalangan Islam, penganut Budhisme maupun tradisi keagamaan lainnya.
Benang merah teologi pembebasan adalah pada upayanya membongkar ketimpangan yang ada dengan basis tradisi relijius atau spiritual demi suatu tatanan yang lebih adil tanpa eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain.
Fokus bahasan dalam tulisan ini adalah teologi pembebasan ala Budhisme yang salah satu rupanya mewujud dalam gerakan Engaged Budhism.
Pembahasan atas Budhisme diambil dengan pertimbangan, Budhisme merupakan sebuah tradisi keagamaan yang selama ini dilabeli hanya memegang tradisi senyap introvert individual kemudian mentransformasi diri menjadi tradisi yang bersifat ekstrovert sosial nan dinamis melalui keikutsertaannya dalam gelombang teologi pembebasan.
Dengan transformasi ini, Budhisme menegaskan bahwa manfaat yang didapat dari spiritualitas Budhisme tidak saja solutif bagi pembebasan diri pribadi melainkan juga lingkungan yang jauh lebih luas.
Teologi Pembebasan atau Spiritualitas Pembebasan?
Konsep Teologi Pembebasan sejatinya bukan perkara pada obyek kajian dan isi, melainkan pada metodologi atau cara berteologi. Cara berteologi pembebasan adalah transformatif, bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu (Nitiprawiro, ibid, hlm:17).
Teologi sendiri dipandang sebagai refleksi sistematis dan metodis tentang realitas iman, yang merupakan integrasi ilmiah dari Sabda Tuhan sebagaimana ditujukan kepada kita.
Teologi yang merupakan kegiatan penalaran tentang ajaran iman tersebut memperbarui diri via tiga saluran. Pertama, saluran reinterpretasi iman sedemikian rupa sehingga mendekati sumbernya.
Kedua, saluran kontak dengan problematika internal komunitas maupun dengan suasana global dewasa ini. Ketiga, saluran refleksi mengenai perkembangan pemikiran komunitas relijius lain. (dalam Nitiprawiro, ibid, hlm:18).
Uraian ini menggambarkan konsep teologi pembebasan yang sangat khas tradisi keagamaan Barat. Dan tentunya corak pemikiran teologi sebagaimana yang ada dalam tradisi keagamaan Barat berbeda dengan tradisi keagamaan Timur.
Corak alam pikir Budhisme tidak bisa disamakan begitu saja dengan logika teologis sebagaimana dalam Kristianitas atau Islam.
Pada titik ini maka konsep teologi pembebasan perlu disesuaikan jika ingin membaca gerakan keagamaan Budhisme. Penulis menawarkan konsep "Spiritualitas Pembebasan".
Spiritualitas disini merujuk kepada pengakuan akan sesuatu yang ultim (Bawono, 2008, hlm:36). Fahlberg & Fahlberg mendefinisikan sebagai suatu keadaan atas keterhubungan antara sesuatu yang bersifat ilahiah (divine) di dalam diri maupun yang melampaui diri (Fahlberg & Fahlber, 1991, hlm:274). Dari sini berarti, spiritualitas pembebasan adalah cara berspiritualitas yang transformatif.
Dalam artian aktivitas atas dasar spiritualitas yang berimplikasi dekonstruktif terhadap segala ketimpangan dan eksploitasi yang terjadi. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa kematangan spiritualitas belum cukup berbunyi jika hanya fokus pada internal individual melainkan juga memiliki implikasi sosial.
Dari sini, dengan melihat corak €Ĺ“teologi€ yang benar-benar berbeda dengan tradisi keagamaan barat maka dapat dikatakan teologi pembebasan ala Budhisme adalah spiritualitas pembebasan.
Engaged Budhism: Dari Internal Individual menuju Eksternal Sosial
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, corak Budhisme yang mengambil ruh spiritualitas pembebasan biasa disebut sebagai Engaged Budhism.
Thich Nhat Hanh, salah satu tokoh terkemuka Enganged Budhism, menjelaskan bahwa Engaged Budhism adalah bentuk budhisme yang dipraktikan setiap saat dalam rupa aktivitas berupa perjuangan atas keadilan sosial, kesetaraan, dan hak asasi manusia (lihat Thich Nhat Hanh: What is Engage Budhism?
Namun, Engaged Budhisme bukan sekedar sebuah upaya perjuangan pengentasan kemiskinan, perlawanan atas ketidakadilan sosial atapun pejuangan hak asasi manusia melainkan inti pokoknya adalah kesadaran atas hidup pada setiap momennya.
Mulai dari mencuci piring, membersihkan rambut, hingga apapun itu, kesadaran itu hadir, jadi tidak sekadar pada saat meditasi atau membaca doa (chanting).
Seorang kawan penulis yang aktif di gerakan Engaged Budhism menerangkan perihal pentingnya kesadaran. Kesadaran pada setiap momen kehidupan. Kesadaran akan diri sendiri. Kesadaran akan senyatanya hidup adalah pada kekinian, bukan masa lampau ataupun masa depan.
Sebab dengan kesadaran pada kekinian membuat kewaspaan atau keterjagaan sehingga tidak terhempas ke betapa sesaknya masa lampau ataupun cemas berlebihan terhadap waktu yang belum tiba dimasa depan.
Dengan sadar pada kekinian maka mekanisme kontrol diri menjadi kuat, stabil, tidak mudah terombang-ambing serta meminimalisir energi destruktif berupa gejolak emosi yang kerap tak terkendali jika lepas dari kesadaran pada kekinian.
Dengan titik pijak, kesadaran pada diri sendiri, maka selanjutnya diri menyadari bahwa ada dunia eksternal di luar diri, ada orang lain, ada perbedaan/pluralitas, ada makluk lain, ada benda lain, atau apapun itu.
Kesadaran akan dunia eksternal membuat diri menjadi terjaga bahwa diri tidak pernah sendiri melainkan integral dengan dunia eksternalnya.
Kondisi ini berimplikasi bahwa diri tidak bisa semaunya, diri menyadari sepenuhnya hidup dalam konteks yang jauh lebih luas, ada dunia luar dengan segala kompleksitasnya. Maka kesinambungan hidup adalah konsistensi antara kesadaran internal diri dengan dunia eksternalnya.
Dengan landasan kesadaran diri pribadi, dunia eksternal dengan segala kompleksitasnya akhirnya dapat dipahami bukan sekedar apa yang tampak, melainkan ada hal lain yang jauh lebih mendasar di balik itu semua.
Misalnya, bagaimana mungkin jurang kesenjangan kian lebar? Bagaimana mungkin hanya sekelompok kecil orang yang menguasai akses terhadap sumber daya? Bagaimana mungkin disatu sisi adalah keuntungan bagi manusia namun disisi lainnya berimplikasi pada kian rusaknya lingkungan alam?
Perenungan-perunangan ini dapat menjadi gambaran kesadaran internal individual memproyeksikan dirinya pada kesadaran eksternal sosial. Perenungan tidak berhenti pada perenungan, melainkan pada upaya transformasi melalui aktivitas yang memungkinkan adanya suatu perbaikan kondisi.
Kawan saya menyebutkan level transformasi itu berawal dari internal diri, dunia sosial kemudian tingkat institusional. Hal ini juga sekaligus menjadi kritik atas sebagaian besar penganut agama yang hanya berfokus pada ti ndakan charity semata. Padahal kekuatan agama sejatinya bisa lebih dari sekedar charity belaka.
Dari uraian ini terlihat, Enganged Budhism merupakan wujud transformasi tradisi Budhisme yang selama ini dilabeli sebagai tradisi yang hanya berfokus pada wilayah internal individual menjadi sebuah tradisi spiritualitas yang sangat sadar dengan wilayah eksternal sosial.
Diakhir, penulis ingin menggariskan bahwa teologi pembebasan ala Budhisme adalah spiritualitas pembebasan.
Dan spiritualitas pembebasan ataupun teologi pembebasan pada dasarnya adalah upaya adaptif dari tradisi keagamaan dalam konteks sosial agar janji pembebasan ataupun keselamatan surgawi tidak sekedar hidup dalam teks suci atau bagi kepentingan diri sendiri, melainkan terjadi disini dalam dunia kekinian bagi semua.
Bebasnya segala makluk dari segenap eksploitasi antar sesama dan himpitan ketimpangan. Hidup selamat dalam artian hidup dengan kualitas baik, berkesadaran. Semoga semua makhluk berbahagia. (dtk)
*Penulis adalah Pegiat Religious Archives Studies di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan (Pusjibang Siskar)
Harry Bawono
Jl. Ampera Raya, Jakarta Selatan
feuerbaw@gmail.com
08567561606
Post Comment
Tidak ada komentar: